Sunday, January 1, 2012

Filosofi Hidup si Kabayan

Sosok si Kabayan sering disalahfahami sebagai sosok yang bodoh dan malas. Makanya Doel Soembang melalui lagunya mengatakan bahwa si Kabayan memang Urang Sunda tapi Urang Sunda bukan Si Kabayan. 


Padahal di balik sikap si Kabayan yang lugu itu, sebetulnya leluhur urang Sunda menciptakan sosok si Kabayan untuk menggambarkan filosofi dan world view urang Sunda yang sangat sprititual. Sayang tak banyak orang yang menangkap sisi ini. 

Berikut ini beberapa filosofi hidup di balik sikap si Kabayan:

Geus teu nanaon ku nanaon: 
Artinya tidak terpengaruh oleh apa-apa. Sehari-hari si Kabayan hidup dengan gembira, tak pernah dikhawatirkan oleh hal-hal dunia dan hiruk pikuk kehidupan. Kemalangan tak membuatnya bersedih, kegembiraan tak membuatnya eforia. Menurut KH. Jalaludin Rachmat, salah satu inti dari ajaran kebahagiaan yang diajarkan dalam prsikologi modern maupun ajaran-ajaran sufi klasik adalah sikap ini: Tak terlalu sedih ketika ditimpa kemalangan, tak terlalu gembira ketika mendapat kesenangan. Karena baik kesenangan maupun kemalangan adalah sementara, datang dan pergi dalam hidup kita. Ketidakbahagiaan disebabkan ketidaksiapan kita menerima dan melepas yang sementara dengan rela (ridha). Simak saja semua cerita si kabayan, penuh dnegan kesenangan dan kebahagiaan. Tak ada kisah sedih atau bahagaia yang berlebihan seperti dalam cerita film India atau Sinetron.

Full bodor 
"Heuheuy deudeuh!" biasanya dilontarkan ketika menyaksikan atau mengalami kebahagiaan atau kesenangan. Makanya ada ungkapan dalam bahasa Sunda "Hirup mah heuheuy jeung deudeuh!, mun keur seuri cape seuri mun keur ceurik cape ceurik" Hidup itu selalu kenenagan dan kesedihan jika sedang menangis akan capek nangis, jika ketika tertawa akan capek tertawa. Semua saling berganti, jadi enjoy aja lah! Makanya heureuy atau guyon menjadi menu utama orang Sunda, seperti terlihat dalam sosok kabayan. Dari guru, penghulu, hingga kyai cenderung mengandung unsur heureuy dalam cara mereka menyampikan pesan-pesannya. Bahkan agak sedikit cawokah, alias menyerempet hal-hal dewasa yagn dalam bahasa sunda disebut "jorang". Berbeda dnegan trasisi wayang kulit atau cerita aslinya dari Indoa, dalam pagelaran wayang golek sunda, tokoh cepot yang bodor sepertinya jauh lebih mendapatkan perhatian dibanding gatot gaca atau tokoh serius lain.

Menangis saat gembira, tertawa di kala duka
Salah satu cerita populer dari legenda si Kabayan adalah ketika berjalan di tanjakan dan turunan. Saat Kabayan menaiki jalan menanjak, dia tertawa senang. Sebaliknya, ketika menuruni pudunan alias turunan, dia malah menangis. Melihat sikap yang aneh itu, teman seperjalananya bertanya keheranan. Kabayan menjawab bahwa ketika di tanjakan di tertawa karena dia yakin setelah tanjakan pasti nanti ada turunan, karena itu dia bahagia memikrikannya. Dan ketika berada di turunan, dia sedih karena turunan itu akan segera berlalu dan tanjakan akan dia hadapi. Sikap ini menunjukkan bahwa kita hidup tidak terpaku pada sesuatu yang kita alami SEKARANG, tetapi melihat jauh ke depan.




Teu daya teu upaya
Lengkapnya: "Abdi mah teu daya teu upaya, mung ngiringan kersaning Anjeun" Ini ungkapan yang artinya kira-kira sama dengan Laa haula walaa quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah. Orang Sunda melihat kehidupan seperti wayang atau bayang-bayang, yang hidup karena dimainkan oleh dalang. Wayang sama sekali tak memiliki daya dan upaya.

Melalui pemahaman akan filosofi-filosofi di atas mungkin kita bisa melihat dengan cara berbeda kisah-kisah si Kabayan. Produktivitas, kerja keras, hal-hal duniawi yang menjadi fokus hidup kita sekarang memang akan menyulitkan kita mengapresiasi sosok Kabayan. Kita cenderung melihat sosok si kabayan yang malas, bodoh dll. Padahal semua sikap si Kabayan bisa jadi anti thesis terhadap kehidupan modern yang terlalu cepat sehingga melewatkan kegembiraan-kegembiraan kecil sehari-hari, yang masih bisa dinikmati oleh si kabayan. Di barat kini tengah ngetrend gerakaan deselerasi, pelambatan hidup. Misalnya dengan berjamurnya pusat-pusat yoga dan meditasi, slow food, dll.

Misalnya ada satu kisah tentang kabayan ngala (mengambil-red) tutut (sejenis keong sawah yang bisa dimakan dan mengandung protein tinggi, enak sekali!). Sudah berjam-jam Kabayan masih saja jongkok di pematang sawah dan tidak mau masuk ke sawah, sambil emmandanig air yang menggenang di sawah yang masih basah itu. Melihat sikap Kabayan yang aneh itu, mertuanya bertanya mengapa dia tidak juga turun ke sawah. Kabayan menjawab bahwa dia tidak mau turun ke sawah karena air di sawah dalam sekali, saking dalamnya, dia bisa melihat langit di permukaan air sawah. 

Cerita di atas sering dianggap sebagai cerita "bodoh" si Kabayan, masak dia takut masuk ke sawah karena dia menggap airnya dalam gara-gara melihat bayangan langit di permukaannya. Padahal jika kita renungkan, kisah ini menyindir kebodohan kita dalam memandang hidup. Kita sering ketakutan oleh kehidupan dunia yang sebetulnya adalah bayang-bayang, seperti juga bayangan langit di permukaan air sawah. Kita sering khawatir kehilangan pangkat, jabatan atau kekayaan. Padahal semua itu bayang-bayang yang pasti akan hilang. Kalau kabayan takut oleh bayang-bayang langit, itu sebetulnya menyindir kita yagn sellau ketakutan oleh bayang-bayang duniawi, sesuatu yagn tak nyata dan pasti hilang. 

Cerita ini mengingatkan saya pada kisah sufi Nasruddin Khoja. Suatu saat dia meninggalkan keledainya di tengah gurun pasir. Ketika dia kembali, dia tidak menemukan keledainya. Ketika seseorang bertanya kepada Nashrudin di mana tadi di ameninggalkan keledainya, Nashrudin menjawab bahwa dia sangat yakin bahwa ditempat itulah di ameninggalkan keledainya, sebagai tandanya dia menunjuk awan di langit, "Saya simpan keledai saya tepat di bawah awan itu, swear!" Kisah ini terlihat sama bodohnya dnegan Kabayan. Masak awan dijadikan patokan tempat keledai ditambatkan. Padahal awan kan bergerak, tidak bisa jadi patokan. Tapi seperti itulah sebetulnya seringkali kita menjalani dan memandang hidup. Kita sering menambatkan sesuatu harapan pada patokan yang tidak abadi. Kita menambatkan kebahagiaan pada sesuatu yang sementara, bergerak dan bsia hilang. 

Sosok Kabayan selalu ada di setipa budaya, diciptakan oleh leluhur kita untuk mengabadikan kebijakan sebagai warisan untuk generasi-generasi berikutnya. Seperti juga sosok Nasrudin Khoja dalam tradisi Sufi. Dalam tradisi sufi, ada satu istilah (yang saya lupa) yang menggambarkan bahwa sufi-sufi yagn ilmunya sudah tinggi suka berpura-pura jadi orang yang bodoh, agar mereka bisa memberikan nasihat kepada banyak orang dnegan cara yang bersahaja, tanpa menggurui. banyak orang yang yakin bahwa Nasruddin Khoja adalah sufi besar, jadi mungkin juga kalau Kabayan itu adalah seorang Sufi (?)

Selain sikap hidup yang asketik di atas, ada beberap kualitas Kabayan yang jadi filosofi dalam kehidupan sehari hari misalnya:
  • Cageur: sehat fisik dan rohani
  • Bageur: baik hati
  • Pinter: cerdas 
  • Motekar: kreatif
  • Basajan: sederhana
  • Handap asor: rendah hati
Kita akan bahas lebih lengkap pada tulisan berikutnya.


Beberapa Tokoh Kabayan yang saya tahu
Sikap "geus teu nanaon ku nananon" ala Kabayan ini saya lihat jelas dari beberapa urang Sunda seperti Harry Roesly, Kang Ibing, dan Pidi Baiq. Meskipun Harry Roesly adalah keturunan Minang, tapi ia besar di Kota Bandung dan gayanya sunda pisan. Kehidupan sehari-harinya, karyanya, dan sikap hidupnya mencerminkan ketidaktakutan pada apa pun. Tanpa rasa takut dia mengkritik pemerintah orde baru hingga ia harus mendekam di penjara. Tapi karya-karya kritisnya selalu disampaikan dalam kemasan heureuy, main-main dan humor, tak terlalu serius, karena hidup ini memang tak usah terlalu serius. Sikap kritis seperti ini selalu ditunjukkan si Kabayan ketika menghadapi mertuanya, dia tak pernah takut (tapi ini bukan ngajarin untuk melawan mertua :). Kembali ke Hari Roesly, bahkan dia menghadapi hidup dan kematian dengan tetap penuh kegembiraan. Saat dirawat di RS. Broromeous, ada wartawan yang menjenguk, kebetulan wartawan itu bertubuh besar, Harry Roesly iseng bertanya pada wartawan itu, "Hey, jari kamu besar-besar, bagaimana kamu jika mau ngorong (ngupil-red)?" Masih saja dia bisa berkelakar meskipun saat itu kesehatannya sudah kritis.

Sosok kabayan lainnya adalah Kang Ibing. Kebetulan ketika sekolah di bandung, sekolah saya dekat dengan Rumah Kang Ibing di daerah Kresna. Bahkan dekat sekolah saya ada satu taman yang disebut Taman Ibing. Saya sering lihat kang Ibing nongkrong bersama anak-anak muda. Kini saya tinggal di komplek Margawangi Ciwastra satu Komplek dengan Kang Ibing alm. Kang Ibing sering  ngarambet, menyabit rumput untuk makanan domab kesayangannya yang simpan di halaman rumahnya. Tentang dombanya ini, kang Ibing pernah ditanya kenapa di zaman modern seperti sekarang masih memelihara domba, dan disimpan di halaman rumah lagi. Kang Ibing menjawab bahwa bahwa justru ia ingin beda, karena kebanyakan orang memelihara anjing herder yang disimpan di halaman rumah, tapi di memelihara domba, karena domba lebih gagah dari herder. 

Hingga akhir hayatnya kang Ibing tetap berceramah dan siaran di Radio Mara dnegan gaya yang tak pernah berubah, tetap bodor dan penuh kegembiraan. Geus teu nanaon ku nanaon. Dalam memandang kematian, kang Ibing terkesan santai menangapinya tapi dengan penuh kesadaran. Dia menciptakan satu lagu khusus berisi wasiat agar dia dikuburkan di Sumedang. 



Pidi Baiq menurut saya adalah sosok kabayan otentik yang kita miliki saat ini. Pertama kali bertemu Pidi Baiq saat kursus menggambar di ITB waktu SMA dulu, saat itu Pidi baiq mengelola koran Majenun untuk pasar Seni ITB, saya terkesan. Ketemu Pidi lagi saat di Mizan, beberapa tahun sebelum serial Drunken, tulisan2 gilanya, terbit. Setiap bertemu, dalam waktu 60 menit Pidi selalu bercerita sesuatu yang ngaco tapi begitu filosofis, dan mendatangkan rasa senang dan bahagia. Hidupnya dia perlakukan seperti mainan. Dan dia tak pernah dipermainkan oleh kehidupan. Di balik kesuksesan Project P, Pidi adalah salah otaknya, tapi Pidi tidak pernah mau masuk tivi, karena katanya dia lebih tertarik untuk masuk surga. Bacalah buku serial Drunken karyanya, atau follow twitternya di @pidibaiq. 







Friday, December 30, 2011

Tiket Premiere From Ciganitri to New York City

Trailer Filmnya

Asalnya judulnya dari Cijagra to New York, tapi biar berima ujung nya "i" diganti jadi
"From Ciganitri to NewYork City"

The Jarambah

Mang Singgih, lahir di Cicalengka, 46 tahun di New York

Saya suka tema kontradiski budaya untuk tema film dokumenter saya. Mang Singgih orang Buahbatu yang kini tinggal di New York City itu salah satu bentuk kontradiksi. Karena kosmologi orang Sunda itu tak jauh dari tema tanah priangan. Makanya saya sangat bersemangat untuk menemui dan mewawancarai Mang Singgih. (lebih lengkap ttg Mang Singgih, nantikan filmya tanggal 1 januari 2012, di YouTube)

Di kalangan masyarakat Sunda ada istilah "jarambah". Istilah ini untuk menggambarkan anak yang suka main jauh melewati radius wajar untuk usianya. Radius ini akan terus bertambah luas seiring dengan usianya. Waktu belum lahir, radius kita cuma di perut ibu, waktu balita, merangkak tak jauh dari pangkuan ibu, sedikit saja mendekati pintu atau dapur, Ibu kita akan segera mengambil tubuh kita dan disimpannya di pangkuannya. Waktu SD saya sering tergoda untuk ikut main bersama kakak saya yang SMP, radius main mereka jauh sampai ke Bandara Husen Sastranegara melihat pesawat terbang atau menyusuri rel kereta dan membuat pisau-pisauan dari paku yang digilas roda kereta.

Radius jarambah saya masa SD

Radius jarambah remaja

Waktu kecil dulu, sering ada ungkapan, "tong ulin jeung si eta, jarambah!" (jangan main dnegan si anu dia itu kalau suka terlalu jauh). Para orangtua sering juga menakut-nakuti "awas loba culik" (awas banyak culik) agar anaknya tidak jarambah. Jadi jarambah itu semacam perbatasan imajiner. Jika kita melampui itu maka kita cross border dan siap dicap jarambah, dan itu negatif. 

Radius Jarambah masa mahasiswa

Mungkin karena konsep jarambah inilah kerajaan Sunda tak pernah expansi, wilayah mereka tak jauh dari Bogor, Galuh dan sekitarnya. Sementara Majapahit expansi hingga Malaka, Sriwijaya hingga Asia Tenggara, dan Bugis hingga Madagaskar dan Australia. Kabayan yang pergi ke kota saja sudah jadi berita heboh, bahkan dibuat film segala "Kabayan Saba Kota". Jadi semacam konvensi bahwa orang Sunda itu puas tinggal di tanah priangan yang identik dengan pesawahan dengan kecapi suling sebagai soundtrack nya. Mereka bangga bahwa tanah priangan diciptakan tuhan sambil tersenyum, orang Sunda tak mau menjadi murung di negeri orang lain. 

Radius jarambah sebelum usia 25 tahun


Jarambah itu turunan
Secara iseng-iseng, saya mengamati teman-teman yang jarambah. Ternyata 9 dari 10 yang saya amati memiliki sejarah keluarga yang jarambah. Misalnya Maulama Muhammad Syuhada, (aktivis angklung di Eropa yang pernah diwawancarai di Kick Andy) yang kini S3 di Inggris. Waktu di pesantren dia sering bercerita tentang masa SDnya di Belgia karena ayanya kuliah di sana. Yudi Nurul Ihsan kakak kelas saya di pesantren yang sekarang S3 di jerman, ayahnya adalah KH Aminudin Shaleh yang sering kliling timur tengah dan Afrika untuk memotret. Suatu kali dia pernah memperlihatkan foto-foto Mekkah dan foto Firaun dari Mesir melalui slide projector di sebuah pengajian (20 tahun lalu tak ada ustaz yang pake projector). Saya terkagum-kagum melihatnya. Yudhi Surjoatmodjo, mantan program manager di British Council Jakarta bekerja dan kuliah di berbagai negara, setelah ditelusuri, ternyata ayahnya seorang diplomat, sejak kecil hingga remaja dia berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Zahir teman saya di Bandung, sekarang selalu saja ada acara konferensi di timur tengah, dan eropa, ternyata di lahir dan besar di Mekkah. Rafki, rekan saya sesama penerima beasiswa Ford yang kini kuliah di Australia, ternyata waktu kecil dia tinggal di sana bersama orangtuanya. Eric dan Krissy Lincoln teman saya orang amerika kini tinggal di Indoensia, ternyata duluuu sekali orangtua mereka pernah tinggal di Indonesia. Jadi kejarambahan orangtua kita seolah menjadi cetak biru untuk kejarambahan anaknya di masa mendatang. 

Radius jarambah sebelum 35 tahun (sekarang)

Jika kebetulan orangtua Anda bukan seorang yang jarambah, maka anda bisa memulai tradisi jarambah dari sekarang, agar anak Anda menjadi jarambah. Semua kitab suci mengajarkan umatnya untuk pergi melihat luasnya dunia agar kita memiliki perspektif yang luar. Wasiiiruu fir alrdi wanddhur kaifa kaana 'aaqibatul lilmukadzibiin (keliling dunialah, dan pelajari bagaimana akibat bagi yang dialami orang-orang masa lalu yang berdusta). Karena itulah di ruang tamu, saya memasang peta dunia agar anak saya bisa punya cita-cita untuk jarambah. Ayah Wimar Witoelar adalah kelaurga sederhana, tapi dia selalu menganggarkan untuk mengajak anak-anaknya pergi ke berbagai daerah dan negara (bukan untuk belanja) untuk memberikan perspektif yang luas kepada mereka.

Radius Jarambah sebelum 45 tahun nanti

Nabi Muhammad sudah melakukan perjalanan dagang internasional pada usia 12 tahun. Imam Buchori melakuakn perjalanan dari negara bagian Rusia hingga jazirah Arab. Ibnu Batutah adalah penjelajah sejati yang rute perjalananya berlipat kali dibanding Columbus. Catatan perjalanan Batutah menjadi manuskrip penting bagi sejarah dunia. 

Rute perjalalanan Ibnu Batutah


Irwan Ahmett, Desainer dan seniman, asli Ciamis, tinggal di jakarta, kini keliling dunia irwanahmett.com

Irfan AmaLee
Dec, Boston

Si Kabayan yang Setia

Setia pada budaya lokal
Menurut Hidayat Suryalaga, salah seorang budayawan sunda ada beberapa "NG" yang jadi ciri khas urang Sunda. Di antaranya adalah Ngibing: bisa menari, Ngahariring: jago nyanyi, Ngaji: jago ngaji (akan dibahas pada point setia pada agama) Ngadalang: menjadi dalang atau seni peran dan pertunjukan dan NG2 yang lain yang saya tidak ingat semuanya. Kecintaan terhadap seni dan kreativitas menjadi menu utama yang (seharusnya) diajarkan keluarga kepada anak-anaknya. Dengan mencintai seni, anak akan mencintai budaya, dan menghayati filosofi di balik budaya itu.

Setia pada negara
Ketika Ibukota pindah ke Jogjakarta, Pasukan Siliwangi dengan sukarela menaati perintah hijrah. Meskipun sebenarnya bisa saja pasukan Siliwangi ini membelot menjadi kekuatan besar yang memisahkan diri dari NKRI. Peristiwa ini diabadikan dalam syair tembang gubahan Mang Koko:

[Bulan téh langlayangan peuting
nu ditatar dipulut ku tali gaib
entong salempang mun kuring miang
ditatar ti Tatar Sunda
dipulut nya balik deui ka dieu
ieuh, masing percaya.] x 2
[Bedil geus dipéloran
granat geus disoréndang
ieu kuring arék miang
jeung pasukan Siliwangi
ka Jogja hijrah taat paréntah.] x
2
[Bulan téh langlayangan tineung
nu ngoleang dipulut ku angin gaib
entong salempang mun kuring anggang
kapirarai tanah Sunda
kacipta mun balik enung mapagkeun
ieuh, di dora lembur.] x 2
[Bedil geus dipéloran
granat geus disoréndang
ieu kuring arék miang
jeung pasukan nusaati
ka wétan muru bijil balebat.] x 2


Menurut Abdullah Mustapa, salah seorang budayawan Sunda, Umar Wirahadikusuma berhasil mengamankan Ibokota saat situasi genting tahun 50an (?), dan dia bisa saja berperan seperti Gorbacev di Rusia yang memanfaatkan situasi dengan mengambil alih tampuk kepemimpinan, karena kunci ada di tangannya. Tapi kesetiaan pada negara sellau menjadi prioritas urang Sunda, Umar Wirahadikusuma menyerahkan kunci Jakarta pada negara, dan dia menghilang sebagai pahlawan yang tak menuntut pujian.

Setia pada kemanusiaan dan persamaan
Kesetiaan pada budaya lokal tidak dibarengi oleh kebencian pada budaya lain atau rasisme. Dalam grup-grup bodoran sunda, selalu ada tokoh-tokoh yang berasal dari suku lain. Misalnya Babah Holiang tokoh Cina dan Mas Sastro tokoh Jawa dalam grup Kang Ibing dan Aom Kusman. Anugerah Rancage yang digagas Ajip Rosidi bukan hanya diberikan pada budayawan Sunda, tapi pada semua budayawan lokal di Indonesia. Ketika mengembara, urang Sunda didorong untuk memahami bahasa dan tatakrama budaya setempat.

Setia pada orangtua
Kang Ibing pernah bercerita bahwa ke manapun ia akan pergi, ia selalu meminta restu ibunya, bahkan ketika Kang Ibing sudah tua, karena tetaplah ia seorang anak. Urang sunda mengenal filosofi "Indung nu ngandung bapa nu ngayuga" 

Setia pada keuarga
Kabayan adalah sosok suami yang setia pada istrinya, yaitu Nyi Iteung. Cintanya tak pernah dibagi pada yang lain. Kalau ada stereotype bahwa orang Sunda suka nyandung alias poligami, itu entah dari mana asalnya :)

Setia pada agama
Suku Sunda adalah salah satu suku di Indonesia yang begitu cepat menyerap Islam ketika masuk ke nusantara. Mungkin karena sistem kepercayaan orang sunda yang sejalan dengan teologi Islam, dan juga nilai-nilai akhlak yang sejalan. Bahkan sejumlah ahli budaya mengatakan bahwa ketika bicara sunda maka secara otomatis bicara tentang Islam. Tentu saja dengan beberapa pengecualian, karena ada beberapa sub etnik yang mereka memilih untuk menyingkir karena tak mau memeluk Islam dan tetap memluk agama leluhur. Namun baik yang menerima maupun menolak, semua berjalan dengan damai. Tak ada pemaksaan. Kasus penyerangan warga Ahmadiyah yang kebanyakan terjadi di Jawa Barat menjadi cukup mengherankan pada konteks ini.

Hampir semua pesan yang disampaikan dalang melalui cerita-cerita pewayangan kini disisipi pesan-pesan keagamaan seperti jimat "kalimusyada" yang menjadi senjata utama diambil dari "kalimat syahadat". Jika kita simak Asep Sunandar Sunarya mendalang, maka kita akan melihat bahwa dia seperti seorang ulama dengan ilmu agama yang dalam yang menyamar jadi dalang. Dari sejumlah "NG"yang jadi ciri urang Sunda adalah "NGaji", semua keluarga Sunda hampir dipastikan menjadikan mengaji sebagai menu utama bagi anak-anaknya.

Dalam bidang tasawuf, si Kabayan mengajarkan filosofi hidup yang sangat dalam. Nanti akan saya bahas pada posting berikuntya.